Rabu, 25 Mei 2011

Victoria Concordia Crescit


Alan mulai gelisah, wajahnya mulai terlihat frustasi. Dilihatnya terus televisi yang terletak di pojok kamar tidurnya. Sesekali dia mengambil segelas air putih yang berada di sampingnya dan kemudian meneguknya, empat kali.
"Damn," gerutunya.
"Tangkapan yang bagus Szczesny!" mulutnya terus komat kamit melihat tim kesayangannya bermain, Arsenal yang sejak dari tadi tidak menghasilkan gol melawan Liverpool.
"Aaaarrrgggghhh!" teriaknya ketika bola hasil sepak pojok Van Persie diteruskan oleh sundulan Koscielny tapi masih membentur mistar gawang. Saat masa waktu sudah menginjak angka 89 menit, ofisial pertandingan memberikan tambahan waktu..
"Delapan menit?" gumamnya sambil mengerutkan alis. Sekitar enam menit kemudian dia tersenyum, matanya melebar.
"Yes, penalti!" pelanggaran yang di lakukan oleh pemain Liverpool, Spearing terhadap Fabregas di kotak terlarang membuat wasit pertandingan menuju titik putih. Van Persie yang menjadi algojo dengan mudah menyepakkan kaki kirinya menuju bola yang akhirnya menghujam deras di jala gawang Pepe Reina. Alan kemudian melompat kegirangan dari kursi yang sejak tadi didudukinya, pantatnya mungkin sudah terasa panas tapi ia tak memperdulikan. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang dikurung di Disneyland seharian. Selesai? Sama sekali tidak! Senyumnya tiba tiba terhenti saat melihat pemain Arsenal, Eboue bersikap bodoh dengan mendorong Lucas Leiva yang sebenarnya tak terlalu mengancam gawang Szczesny. Penalti untuk Liverpool. Kedudukan 1-1 berlanjut sampai peluit panjang dibunyikan. Pikirannya campur aduk, marah dan kecewa. Gap poin Arsenal dengan Manchester United semakin menjauh, pikirnya. Dia kemudian memutuskan untuk keluar dari kamar, mungkin jika dia terus melihat televisi yang menayangkan analisa dari pertandingan tadi akan semakin memusingkan kepalanya. Seketika matanya menangkap seorang wanita yang sedang disibukkan oleh peralatan-peralatan dapur.
"Kenapa wajahmu murung? Mama tebak pasti Arsenal kalah. Kau sama saja seperti papamu,"
"Seri ma..." jawabnya sambil terbata bata. Ia lalu menutup matanya.
"Tidurlah, besok kau harus sekolah. Jangan sia-sia kan beasiswa yang kau dapatkan. Sekolah The Latymer adalah sekolah unggulan. Hanya anak-anak terpilih saja yang bisa mencicipi bangku disana...." belum selesai mamanya berbicara, Alan sudah tertidur. Hanya butuh waktu sekitar semenit agar dia bisa tertidur malam itu.

v      
Paginya, Alan terbangun. Dia masih berada tepat di sofa yang semalam dia tidak sengaja tiduri. Sambil mengucek matanya, ia mendapati sebuah selimut yang membungkus badannya, hangat. Ia berjalan menuju dapur. Setibanya di depan lemari es, ia mengambil secarik kertas yang mempel di benda pendingin tersebut.

‘Sorry darling, Mama harus berangkat pagi lagi. Kalau kau lapar, ambil saja makanan sesukamu di kulkas. Love, your mom'.

Alan menghela nafas, seperdetik kemudian ia ingat hal yang membuatnya merasa tidak nyaman pagi ini. Arsenal. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol susu lalu beralih ke meja makan yang tidak jauh dari situ. Duduk kemudian makan dengan roti yang sudah di persiapkan oleh mamanya. Setelah merasa perutnya sudah terisi penuh, ia langsung melihat jam. Berharap bahwa masih ada waktu sedikit untuk beristirahat, tapi sedetik kemudian "Sial! Terlambat lagi!".

v      
"Nice shoot!" Alan mendengar suara yang sangat familiar itu. Ia langsung berbalik badan dan tersenyum. Ini adalah senyum pertamanya sejak pertandingan Arsenal tadi malam. Gadis berambut hitam panjang itu menghampirinya dan wajahnya terlihat seperti orang kebingungan.
"Kau tak apa kan?" tanyanya lembut.
"Sepanjang aku bisa melihatmu, aku akan baik baik saja," candanya. Gadis itu tertawa.
"Mau bermain?" tanya Alan sambil membawa bola yang sejak tadi ditendangnya.
"Tapi sekolah dimulai lima menit lagi,"
"Kita masih punya lima menit kan?"
"Well, jadi Alan Stevenson, seorang pendukung Arsenal meminta Ardiana Winstanley, suporter Tottenham untuk bermain bola selama lima menit? Apakah itu terdengar masuk akal?" jawab gadis itu sambil tersenyum. Tanpa berfikir panjang, Ardiana langsung mengambil bola yang dipegang Alan dan melemparnya di tanah tepat berada di tengah tengah antara mereka.
"Siap?" tanpa menunggu aba-aba, Alan langsung menyentuhkan kakinya ke bola, kakinya seakan akan menari dan dengan lihainya dapat berduet dengan bola tersebut. Orang pasti akan langsung terkesima saat melihat gaya permainannya. Dan selama lima menit itu pula senyumnya tak berhenti menghiasi wajahnya. Ardiana memang pendukung Tottenham Hotspur, yang secara notabene adalah rival abadi Arsenal, tim yang dibela Alan sejak lahir. Tapi ia tak memperdulikan masalah itu. Banyak teman mereka yang awalnya tidak setuju, tapi seiring melihat hubungan mereka yang hampir tanpa noda, perlahan teman temannya mulai menerima keadaan ini.

v      
Bel sekolah berbunyi, siswa siswi The Latymer School berlarian meninggalkan sekolah. Tak terkecuali Alan, walaupun masih berada di kelas, tepat di pojok dia biasa duduk, dengan tangkasnya dia memasukkan buku-bukunya yang acak-acakan di meja ke dalam tasnya hanya dalam hitungan detik. Salah satu temannya yang sejak dari tadi berdiri di pintu menghampirinya,
"Kenapa berkeringat?" Alan hanya menghela nafas, mengambil tasnya dan menggendongnya di tangan kiri.
"Permasalahan yang selalu muncul setiap aku berhadapan dengan lembaran kertas dan memaksakan pensil yang kupegang untuk mencoretnya,"
"Ulangan.... matematika?" tanya temannya penasaran. Alan hanya mengangguk.
"Dave, kalau kau tak ada keperluan..." belum selesai Alan mengucapkan kalimatnya, Dave langsung menyanggah sambil menepuk lengan Alan
"Hei, tadi aku bertemu Ardiana. Dia memintaku untuk..." Alan menyela perkataan Dave dan membalas pukulan Dave tadi, dan ini lebih keras.
"AW!" seru Dave, "pelan pelan bro,"
"Thank you." jawab Alan. Tanpa berfikir panjang, dia melewati Dave dan langsung berlari keluar kelas.
"Dasar gila!" teriak Dave, tapi ia rasa mungkin Alan sudah terlalu jauh untuk mendengar ucapannya tadi.

v      
Alan berjalan melintasi koridor sekolah, kepalanya terus menoleh ke kanan kiri: mencari Ardiana. Seketika kepalanya terhenti, matanya menatap seorang perempuan yang rambutnya diikat di belakang kepala. Gadis itu melambai, menghampirinya dan memberikan senyum manis pada Alan.
"Kau mau ku antar pulang atau..."
"Atau pulang bersamamu. Aku pilih kedua duanya," jawab Ardiana sambil tertawa
"Well, kau memberikan dua pilihan yang mirip," ucap Alan.
"Pilihan yang sama persis," Ardiana mengoreksi kalimat Alan.

v      
Di sepanjang perjalanan mereka pulang, tak henti hentinya Alan membicarakan masalah ulangan matematika tadi yang dibalas tawaan oleh Ardiana.
"Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu menghafal semua rumus rumus dan membuat otakmu menjadi punya logika," canda Ardiana sambil menahan tawa
"Hei kau menghinaku ya?" ujar Alan sambil memberhentikan langkahnya. Ardiana yang semula melihat Alan, kini matanya beralih pada sesuatu yang sepertinya menarik yang ada di belakang Alan. Senyum Alan terhenti, dia mencoba untuk berpaling dan memutarkan badannya untuk melihat sesuatu itu. Ia menangkap sebuah tulisan besar yang terdapat pada papan di depan halaman bangunan yang ia lihat. Spurs Lodge.
"Hei, kau tau kita berada di daerah mana sekarang?" selidik Ardiana.
"Luxborough Lane-Chigwell, London Utara," jawab Alan tegas.
"Great!" tak berapa lama kemudian gerbang bangunan itu terbuka, muncul sebuah mobil ber-merk Porsche warna silver. Tanpa ada alasan, mobil itu menghampiri Alan dan Ardiana. Muncul seorang pemuda dari pintu kanan mobil itu. Satu temannya mengikutinya dari belakang.
"Hey, kenapa wajah kalian seperti itu?" tanya yang jangkung.
"Seperti melihat matahari di malam hari saja haha" yang lebih pendek menambahkan. Tak butuh waktu lama untuk Ardiana menyadari siapa yang ada dihadapannya sekarang. Dia langsung mengambil secarik kertas dan bolpen dari ranselnya kemudian menyodorkan ke orang yang lebih pendek tadi.
"Boleh aku meminta tanda tanganmu, Mr Modric?" Ardiana memohon sambil tersenyum. Ia gembira luar biasa dapat bertemu langsung dengan idolanya. Luka Modric adalah pemain Tottenham, klub yang didukung Ardiana.
"Jadi, aku tidak diperdulikan nih? Hanya Luka saja yang boleh menanda tangani kertas itu?" seketika wajah Ardiana memerah mendengar perkataan dari orang yang disamping Luka, Roman Pavyuchenko, pemain Tottenham juga.
"Kau boleh menulis kertas itu sesukamu, bahkan mencorat coretnya," badan Roman dan Luka yang tinggi memaksa Ardiana untuk mengangkat kepalanya lebih ke atas.
"Cnacибo!" jawab Roman menggunakan bahasa Rusia.
"Ini pacarmu?" Luka menunjuk Alan. Ardiana mengangguk.
"Tapi, dia pendukung Arsenal kan?" selidik Luka penuh kebingungan.
"Bagaimana kau tau?" Tanya Alan penasaran.
"Gelangmu"
"Well, yeah. Aku menyukainya. Dan ajaibnya dia juga menyukaiku. Kami memang berbeda aliran, ga sewajarnya kita berpacaran. But, love is blind," Ardiana membela Alan. Alan hanya diam, dalam hatinya dia terharu bukan main mendengar perkataan Ardiana tadi. Ia terus menatap gelang yang dibicarakan oleh Luka dan Roman. Gelang itu berwarna merah, dan ada 3 huruf disitu. VVC. Sebuah anisial yang menjadi slogan para pendukung Arsenal. Papanya yang memberikan gelang itu kepada Alan. Papanya menyebut gelang itu sebagai warisan - yang sempat ditertawakan oleh Alan - tapi tanpa disangka, itu adalah barang terakhir yang diperoleh Alan dari Papanya, sebelum beliau sudah tiada.
"How cute!" kata Roman. Aksen Rusianya yang masih kental membuat Ardiana sempat tidak menangkap perkataan Roman tadi.
"Ehm?"
"Nothing, aku suka kalian," goda Roman. Ardiana dan Luka tertawa. Roman yang sempat melihat jam dari tangannya mengisyaratkan Luka untuk meninggalkan tempat itu dan bergegas masuk ke mobil. Lalu, ia membuka kaca jendelanya…..
"Kau ingin menyampaikan sesuatu lagi?" Roman melihat Ardiana
"Tolong bilang pada Gareth Bale agar tidak hijrah kemana mana. Tetaplah berada di White Hart Lane, begitu juga dengan kalian,"
"Okay!" Roman membalas senyum Ardiana dan semenit kemudian mereka pergi.

v      
Dua hari setelah itu, daerah London Utara tak seperti biasanya. Bintang bintang bertaburan indah, sang rembulan memunculkan wajah cantiknya dari balik awan kelabu. Pemandangan indah yang dimodifikasikan oleh suasana orang orang yang terlihat sibuk, sangat sibuk. Tak hanya manusia, mobil pun ternyata dapat membuat daerah Bill Nicholson way, 748 High Road menjadi lebih bernyawa. Dimana orang orang 'Cockney'  tersebut terbagi menjadi dua warna, satu putih dan satunya merah. Yang kelompok merah tak henti hentinya bernyanyi "And It's Arsenal. Arsenal FC. We're by far the greatest team,The world has ever seen!" Ya, mereka semua sudah siap untuk menyambut pertandingan Super Big Match yang mempertemukan tim yang berasal dari daerah yang sama, London Utara. Sementara itu, Alan memutuskan untuk menaiki bus 259 bersama teman teman Arsenalnya. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit agar tepat sampai ke White Hart Lane, stadion dimana pertandingan itu akan dilaksanakan. Alan, Dave, Nobby, Albert dan para senior seniornya yang tergabung dalam klub sepakbola di sekolah The Latymer bersama sama datang untuk mendukung Arsenal. Alan yang sempat bertemu Ardiana di depan pintu masuk tribun timur, memutuskan untuk mengikuti teman temannya karena Ardiana yang datang bersama keluarganya akan duduk di tribun timur tersebut – yang di kenal sebagai Paxton Road, tempat dimana pendukung fanatik Tottenham berkumpul. Alan tak mau mengambil resiko untuk 'berpura pura menjadi suporter Spurs' demi Ardiana, karena jika hal itu dilakukan, dia juga akan mengkhianati Papanya. Malam itu, semua teman temannya menggunakan kaos kebesaran Arsenal, kecuali Alan. Demi alasan keamanan katanya. Hal itu sempat ditertawakan oleh teman temannya. Hooligans sekarang sudah tidak sebrutal tahun 80-an. Tapi dasar Alan, dia memang tidak pandai untuk berbohong. Menghargai bahwa pacarnya adalah pendukung Spurs, mungkin itu alasan tepatnya. Gelang karet yang beranisial VCC selalu menempel pada tangan Alan. Ia tak henti hentinya mengelus benda kesayangannya tersebut. Victoria Concordia Crescit....
"Kalian yakin kita bisa menang?" tanya Dave, wajahnya masih dipenuhi keraguan. Teman temannya dengan serempak menjawab "YES, TOTALLY" Ditambah lagi sehari sebelumnya, Manchester United, sang pemuncak klasemen, hanya bisa bermain imbang melawan Newcastle. Dan artinya, masih ada harapan untuk Arsenal menyalip United. Setidaknya, mengurangi gap poin. Alan dan teman temannya sengaja memilih untuk duduk di tribun utara dan lebih jelasnya lagi ada di belakang gawang. Dengan begitu, mereka bisa melihat lebih dekat para pemain idolanya. Dan setelah memastikan semuanya beres, 3…2…1… Kick Off!

v      
Alan terbangun dari tidurnya. Dengan malasnya ia mencoba untuk membuka matanya, walaupun itu terasa berat baginya. Ia mendapatkan ratusan missed-call dan puluhan sms dari Ardiana di telepon genggamnya. Sadar akan sesuatu yang telah terjadi tadi malam, tanpa berfikir panjang ia membalas pesan dari Ardiana ‘I’m alright.’ Belum sampai ia menaruh telepon genggamnya di meja, Ardiana membalas: ‘Serius? Aku cemas,’ Alan kemudian membalas: ‘Aku akan buktikan nanti di pertandingan Gothia Cup’. Janji Alan kali ini sangat serius. Hari ini, tim sepak bola sekolahnya akan bertanding melawan Woodside High School di final Gothia Cup, salah satu turnamen tahunan dimana sekolah Alan tidak pernah absen mengikuti ajang tersebut. Disamping tidak ingin mengecawakan Ardiana dan sekolahnya, ia juga akan bermain habis habisan untuk mengeluarkan semua emosinya atas pertandingan super mengecawakan yang ia lihat tadi malam. Hasil imbang 3-3 antara Arsenal melawan Tottenham cukup membuat emosi Alan sudah tak karuan lagi. Tekadnya sudah bulat: mendapatkan piala hari ini.

v      
Alan, Dave, Nobby, Albert, Tom, Jonathan dan para anggota sepak bola sekolah The Latymer lainnya terlihat sangat serius di ruang ganti. Sang pelatih, Len Litchfield tak henti-hentinya memberikan instruksi pada anak-anak didiknya. Tak peduli berapa liter ludah yang keluar dari mulutnya, Len masih saja mengoceh masalah seputar strategi tim dan yang terpenting adalah mental pemain. Ia seakan-akan terlihat seperti harimau yang sedang lapar. Tampak para pemain terlihat gugup, takut akan akhir ceritanya tidak seperti yang mereka bayangkan. Sebagai kapten, Tom dengan dewasanya dapat mengurangi beban mental yang menyerang teman-temannya sekarang. Saat kedua kesebelasan mulai menginjakkan kaki mereka di atas lapangan hijau, suara penonton bergemuruh, mereka bersorak menyambut para pemain muncul. Alan terlihat sibuk sendiri, ia melepas gelang VCC itu dan menyatukanya dengan kalung, dimana gelang itu berperan sebagai bandulnya. Ia tak peduli bahwa Tom, Jonathan dan beberapa temannya adalah pendukung Tottenham, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar mendapat piala itu secepatnya. Sebelum kick off, Alan menyempatkan diri untuk mengeluarkan gelang-kalungnya tersebut dan  menciumnya lalu memasukkan kembali ke dalam bajunya.
Hanya butuh waktu lima menit untuk memulai pesta. Kecepatan Nobby tidak bisa diantisipasi oleh lini belakang pemain lawan. The Latymer School unggul cepat1-0 melalui gol hebatnya ini. Selang tiga menit, giliran Alan menunjukkan keajaibannya. Permainan 1-2 dengan Tom sanggup membuat lini belakang lawan tidak berdaya. Dan ia pun mengakhirinya dengan sebuah tembakan yang mengecoh kiper lawan. 2-0.
Sorak-sorai siswa siswi The Latymer School semakin meriah di babak kedua. Setelah lolos dari jebakan off-side, umpan Jonathan dengan mudah diteruskan oleh Alan untuk membuat mereka leading 3-0. Kedua tim kemudian tetap saling silih berganti menyerang. Mencoba untuk menyamakan kedudukan ataupun menambah gol. Hingga akhirnya di menit menit terakhir pertandingan, sebuah crossing luar biasa siswa Woodside High School disambar dengan sebuah sundulan sempurna temannya yang entah bagaimana masih bisa ditepis Albert, sang penjaga gawang tim The Latymer School. Namun, sambaran reboundnya tidak bisa dihindari lagi. 3-1. Sebuah gol hiburan yang sebenarnya tidak perlu atau sama sekali tidak mempengaruhi hasil akhir pertandingan. Merasakan kepahitan diantara banyak gula yang terdapat di sekeliling kita, jika diibaratkan.
Selebrasi yang luar biasa disambut dengan eforia siswa siswi The Latymer School mampu membuat seisi stadion menjadi sebuah atmosfir yang sedemikian hebatnya. Alan hanya bisa tersenyum bahagia, ia bisa melihat Ardiana meneriakinya dari bangku penonton. Alan membalasnya dengan sebuah gerak gerik tangan yang membentuk hati. Sesuatu yang membuat senyum Ardiana semakin melebar. Disaat teman-temannya sedang bergiliran untuk mencium piala, Alan dengan emosionalnya mengambil gelang berharganya itu, melihatnya beberapa detik kemudian menciumnya. Victoria Concordia Crescit, yang artinya ‘Kemenangan berawal dari sebuah kebersamaan’.


-----------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar